Jakarta, Beritasatu.com - Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu sedang mempertaruhkan nyawa banyak orang dengan memaksakan Pilkada 2020 di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih sangat mengkhawatirkan.
Koalisi Masyarakat Sipil merespons hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR, Pemerintah, dengan Penyelenggara Pemilu, Senin (21/9/2020). Koalisi juga menilai, hasil RDP sangat mengejutkan sekaligus mengecewakan.
“Koalisi mendesak agar sikap DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu untuk mengubah pendiriannya, mengingat bahaya besar bagi kesehatan masyarakat jika Pilkada 2020 masih terus dilanjutkan sebelum skala pandemi ini terkendali,” kata salah satu perwakilan dari koalisi masyarakat sipil, Khoirunnisa Nur Agustyati, Selasa (22/9/2020).
Koalisi, katanya, mendesak agar Pilkada 2020 ditunda, sampai situasi pandemi lebih terkendali, dengan pemetaan yang jauh lebih detail dengan koordinasi dengan BNPB yang bertanggung jawab atas penanganan Covid-19.
“Penundaan pilkada perlu dilakukan hingga Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu selesai menyiapkan regulasi yang lebih komprehensif dan cermat untuk melaksanakan pilkada di tengah kondisi pandemi,” kata Khoirunnisa.
Direktur Eksekutif Perludem ini menyatakan, RDP tidak melihat fakta dimana angka penyebaran Covid-19 semakin terus membesar, termasuk angka korban meninggal dunia yang terus bertambah.
“Hingga tanggal 21 September, secara nasional setidaknya 9.667 orang meninggal karena C-19, dan 248.852 orang lainnya terinfeksi. Tahapan Pilkada 2020 dengan hari pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020 mendatang, tetap dipaksakan terus berjalan,” katanya.
Kesimpulan rapat yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, anggota KPU, Ilham Saputra, Ketua Bawaslu, Abhan, dan Ketua DKPP, Muhammad dapat diartikan juga tidak mendengarkan aspirasi masyarakat luas untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020.
“Bahwa suara dari masyarakat untuk menunda Pilkada 2020 tidak hanya datang dari organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepedulian khusus terhadap isu kepemiluan. Tetapi, desakan untuk menunda Pilkada 2020 juga disuarakan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah di dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, serta Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, meminta agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda, karena keselamatan masyarakat jauh lebih penting,” katanya.
50 Petisi
Sebelumnya, Komnas HAM telah merekomendasikan untuk menunda pelaksaanaan pilkada dan DKPP telah menerima lebih dari 50 petisi dari masyarakat yang meminta pilkada ditunda.
Khoirunnisa menegaskan, pilkada yang dipaksakan di tengah pandemi menimbulkan fakta yang memprihatinkan yakni pihak-pihak yang terlibat dalam pilkada telah banyak yang positif terjangkit Covid-19.
“Di antaranya 60 orang bakal pasangan calon (data KPU per tanggal 10 September 2020), 163 orang jajaran Bawaslu, mulai dari Sekretariat Bawaslu hingga panwaslu kecamatan dan panwaslu desa/kelurahan (data Bawaslu per tanggal 21 September 2020), 21 orang staf KPU dan terakhir 3 orang Komisioner KPU termasuk Ketua KPU terjangkit Covid-19 serta sejumlah Ketua/Komisioner KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota,” kata Khoirunnisa
Oleh sebab itu, katanya, berdasarkan kondisi terkini, koalisi menyatakan sikap, mengecam keras keputusan DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu yang terus melanjutkan tahapan Pilkada 2020. Keputusan ini melukai hati masyarakat. DPR,
“Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu seolah-olah menutup mata dan telinganya terhadap suara nyata masyarakat untuk menunda Pilkada 2020. Bahkan, desakan dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah juga sama sekali tidak diindahkan oleh DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu,” katanya.
Sementara itu, peneliti senior Netgrit Hadar N Gumay menegaskan bahwa DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu seperti tidak memahami masalah yang terjadi, sehingga dengan mudahnya menyimpulkan, perlu perbaikan Peraturan KPU untuk menyiapkan manajemen teknis dan tahapan Pilkada 2020 di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang semakin membahayakan.
“Padahal, persoalan regulasi di dalam melaksanakan pilkada di tengah pandemi itu ada di UU Pilkada. UU Pilkada yang berlaku saat ini sama sekali tidak mengatur detail teknis dan manajemen pelaksanaan pilkada yang harus sesuai dengan keperluan dalam keadaan pandemi. Artinya, tidak bisa perbaikan regulasi hanya dilakukan pada Peraturan KPU, melainkan harus dilakukan pada UU Pilkada,” kata Hadar.
Sumber: BeritaSatu.com