Jakarta, Beritasatu.com - Kuartal akhir tahun 2020 hingga awal 2021, kondisi iklim global dihadapkan pada gangguan anomali berupa fenomena La Nina dengan level intensitas mencapai moderat di Samudera Pasifik ekuator. Meski punya potensi menyebabkan bencana hidrometeorologi, ada sisi positif La Nina yakni untuk memanen air hujan, pengisian waduk, juga untuk kegiatan pertanian yang membutuhkan cukup air, misalnya di area sawah tadah hujan.
La Nina adalah kondisi di mana terjadi peningkatan curah hujan. Di satu sisi peningkatan curah hujan ditambah kondisi lingkungan yang buruk bisa meningkatkan ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang dan tanah longsor.
La Nina telah lama diketahui memiliki dampak yang bersifat global berupa peningkatan curah hujan di wilayah Pasifik barat meliputi Indonesia, sebagian Asia Tenggara, dan bagian utara Australia, Brazil bagian utara, dan sebagian pantai barat Amerika Serikat, namun menyebabkan pengurangan curah hujan di sebagian pantai timur Asia, bagian tengah Afrika, dan sebagian Amerika bagian tengah.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indra Gustari mengatakan, sampai akhir Desember 2020, analisis suhu muka laut di Pasifik tengah masih menunjukkan kondisi La Nina yang berada pada kategori moderat dan diprediksi La Nina moderat dapat terjadi hingga periode Februari-Maret 2021.
"La Nina secara umum akan memberi pengaruh berupa peningkatan curah hujan pada skala bulanan dan musiman di wilayah Indonesia," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (4/1/2021).
Berdasarkan analisis data historis, pengaruh La Nina bervariasi berdasarkan sebaran spasial, temporal, dan intensitas La Nina sendiri. Pada periode Desember, Januari, Februari wilayah tengah dan timur Indonesia mendapatkan pengaruh yang lebih besar berupa peningkatan curah hujan sampai 40% dibandingkan rata-ratanya atau normalnya.
Sebelumnya, hal senada juga disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam penjelasan tertulisnya. Menurutnya, La Nina lebih dipandang sisi negatifnya saja yang berdampak pada bencana hidrometeorologi.
"Padahal dalam enam kali La Nina dalam periode 30 tahun terakhir telah terjadi surplus air tanah tahunan di Waeapo-Pulau Buru sebesar 775 mm atau setara dengan 222% dari kondisi normalnya,” katanya.
Lebih lanjut Dwikorita menambahkan, hal tersebut mengindikasikan bahwa La Nina selain memiliki sisi ancaman, namun juga punya peluang positif yang dapat dimanfaatkan seperti panen hujan dan surplus air tanah, peningkatan produktivitas pertanian yang memerlukan banyak air, dan pemanfaatan telaga yang muncul selama tahun basah untuk budidaya ikan air tawar semusim.
"Kita bisa mengambil berkah dari fenomena La Nina sehingga para petani di wilayah yang sudah terkenal selalu kering dan kekurangan air bisa melakukan pemanenan air, dan di akhir musim kemarau transisi yaitu September-Oktober masih bisa melakukan pemanenan kacang tanah," tuturnya.
Pakar Ekohidrologi Universitas Gadjah Mada Agus Maryono mengatakan pemerintah harus mengajarkan masyarakat untuk melakukan suatu gerakan secara sporadis untuk menghadapi La Nina. Misalnya dengan susur sungai, sehingga masyarakat di sekitar sungai tahu potensi-potensi sungai yang dapat dimanfaatkan untuk mitigasi maupun untuk pemanfaatan potensi wisata, potensi sumber air, dan potensi perikanan.
"Kalau ada bencana mereka siap karena mereka tahu di mana titiknya dan kalau tidak ada bencana mereka juga tahu manfaatnya sehingga bisa mengungkit kesejahteraan masyarakat," ungkapnya.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: Suara Pembaruan