Jakarta, Beritasatu.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Gubernur Zulkiflimansyah banyak kehilangan pendapatan daerah dari sektor pajak. Bahkan, persoalan pendapatan daerah ini diduga sudah terjadi lama dan terkesan dibiarkan. Hal itu terendus KPK saat mendampingi Pemprov NTB dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB menangani persoalan aset Pemprov di Gili Trawangan.
“KPK melalui Unit Koordinasi Wilayah (Korwil) akan terus mengawal penyelesaian atas aset Gili Trawangan. Sudah setahun KPK mendampingi penyelesaian masalah aset tersebut. Dan saat ini Pemprov NTB telah mengirimkan surat kuasa khusus (SKK) kepada Kejati NTB,” kata Plt Jubir KPK Ipi Maryati kepada awak media, Kamis, (3/12/2020).
Dengan SKK tersebut, Kejati NTB dalam pelaksanaan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) akan melakukan penelahaan dan mengambil langkah-langkah penyelesaian terkait kontrak kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI. Peninjauan kembali atas kontrak kerja sama ini, didasari atas upaya KPK untuk mendorong optimalisasi pendapatan asli daerah. Sebab di lokasi sekitar aset tersebut juga terdapat banyak permasalahan. Salah satunya tidak adanya penambahan kontribusi kepada Pemprov maupun Pemkab Lombok Utara, padahal di lokasi wisata tersebut telah berdiri banyak bangunan komersial.
“Di lokasi aset tersebut saat ini banyak berdiri bangunan komersial. Namun faktanya tidak ada penambahan kontribusi bagi pemda, baik Provinsi NTB maupun Pemkab Lombok Utara. Selama ini Pemprov NTB hanya menerima royalti sebesar Rp 22,5 juta per tahun,” kata Ipi.
Dikatakan, permasalahan pengelolaan aset ini membuat Pemkab Lombok Utara tidak dapat melakukan pungutan pajak daerah. Untuk itu, KPK mendorong penyelesaian persoalan pengelolaan aset di Gili Trawangan untuk mencegah hilangnya potensi pendapatan Pemprov NTB. “Sehingga dalam konteks pencegahan, secara paralel KPK juga mencegah hilangnya potensi penerimaan daerah dengan mendorong Pemprov NTB menggali potensi penerimaan daerah dari kegiatan komersil yang saat ini sudah berjalan di lokasi,” katanya.
KPK berharap, ke depan, masyarakat yang melakukan investasi kegiatan usaha di lokasi tersebut agar patuh dengan ketentuan yang dibuat oleh Pemprov. Menurutnya, hal tersebut penting agar pengelolaan aset di Gili Trawangan dapat membawa manfaat bagi masyarakat NTB. “Ini untuk kepentingan bersama,” kata Ipi.
Berdasar penilaian ulang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Bali dan NTB pada 2018, nilai objek pajak berupa tanah seluas 65 hektar di Gili Trawangan yang dikuasai PT GTI mencapai Rp 2,3 triliun.
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK berkolaborasi mengusut pengelolaan pulau wisata Gili Trawangan (GTI) di Lombok, NTB. BPK didorong melakukan audit investigasi dan KPK mengusut dugaan korupsi jika terdapat kerugian keuangan negara. “BPK perlu lakukan audit investigasi. Jika merugikan keuangan negara baru KPK menyidik,” kata Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih kepada wartawan.
KPK bersama Kejaksaan Tinggi NTB sudah selayaknya meninjau ulang kontrak pengelolaan pulau wisata Gili Trawangan untuk menelusuri adanya penyimpangan atau setidaknya wanprestasi antara Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI). KPK dapat melakukan penyidikan apabila sudah ada hasil audit investigasi yang dikeluarkan BPK terhadap pengelolaan pulau wisata Gili Trawangan. Apalagi, katanya, dengan pengalamannya yang pernah menjabat Kapolda NTB, Ketua KPK, Firli Bahuri diyakini memahami mengenai seluk beluk pengelolaan tempat wisata yang merupakan aset milik negara tersebut. “Jangan hanya mengimbau. Ketua KPK kan pernah menjadi Kapolda NTB. Besar kemungkinan paham situasi disana. KPK lebih paham,” katanya.
Sumber: BeritaSatu.com