Jakarta, Beritasatu.com – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen (Purn) Agus Widjojo menegaskan, ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi. Dikatakan, banyak ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa.
"Kondisi bangsa yang dinamis dihadapkan pada tantangan. Di satu sisi, menuntut adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Namun di sisi lain menuntut adanya nilai-nilai tertentu pancasila yang adaptif terhadap ide-ide baru globalisasi, sehingga berdampak positif bagi kehidupan bangsa,” kata Agus, di gedung Lemhannas, Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Lemhannas menggelar round table discussion Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) bertajuk “Mencari Bentuk Implementasi Nilai-Nilai Pancasila di Era Globalisasi”. Diskusi ini merupakan lanjutan dari FGD yang digelar pada 9 Maret dan 14 September 2020 dengan mengundang para pakar, akademisi, dan para stakeholders terkait.
Kemudian dilanjutkan dengan FGD di Jawa Barat (Jabar) pada 12-13 Agustus 2020 dan Jawa Tengah pada 30 September-1 Oktober 2020. “Pada tahun ini, Lemhannas melakukan pengkajian strategis yang berlokus di Bandung dan Semarang, Karena keduanya memiliki karakteristik masyarakat yang dinamis dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sesuai kebudayaan,” ujar Agus.
Agus menegaskan, Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Pancasila pada waktu proses perumusannya merupakan suatu pergumulan ide yang bercermin dari bangsa/negara lain yang sudah eksis berdiri, mampu bertahan, dan memiliki landasan filosofis. Pancasila akhirnya menjadi dasar negara.
Persaingan
Agus berpendapat, pada era global persaingan tidak bersifat mutlak, tetapi lebih kepada hegemoni yang merasuki kebijakan maupun gaya hidup. Diiringi arus produk dan informasi. Apabila indonesia tidak cermat, lanjut Agus, maka masyarakat cenderung ikut arus hegemoni ideologi luar tersebut. Sementara ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah terlupakan.
Agus menuturkan, teknologi sebagai “perpanjangan tangan” kepentingan ideologi negara yang dapat memengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat negara lain, menjadi sebuah fenomena khusus. Hal ini memerlukan antisipasi sejak dini. Kemenangan persaingan teknologi antar negara-negara yang mempunyai ideologi bertentangan akan menyasar nilai-nilai hakiki Pancasila.
Agus menyatakan, fenomena generasi milenial yang melek teknologi, membawa kemajuan di bidang kehidupan masyarakat. Di sisi lain penanaman nilai Pancasila dapat dikatakan mulai ditinggalkan. “Munculnya konten video yang tidak mendidik dan cenderung membahayakan keselamatan, tentunya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” kata Agus.
Menurut Agus, bangsa Indonesia harus cermat dan berhati-hati dalam memaknai tren khilafah saat ini. Pasalnya sangat tipis antara ajaran agama dengan ambisi politik segelintir kelompok yang ingin mendirikan negara berasaskan islam berdasarkan kepentingannya. Terbentuknya ISIS pada awalnya juga berawal dari semangat memperjuangkan Islam, tetapi di balik itu ternyata ada motif ekonomi-politik.
“Menteri pertahanan ri periode 2015-2019, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu pada tahun 2019 memaparkan bahwa ada sekitar 23,4% mahasiwa dan 23,3% di tingkat sma setuju dengan jihad dan memperjuangkan negara islam atau khilafah. Sementara itu yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila tercatat sebesar 18,1% dari unsur pegawai swasta, 19,4% PNS, 9,1% unsur pegawai BUMN,” ucapnya.
Sumber: BeritaSatu.com