Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyiapkan anggaran Rp 4,05 triliun di rencana APBD 2021 untuk penanganan banjir. Mayoritas anggaran tersebut, berasal dari pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 3,10 triliun dan sisanya dari APBD DKI Jakarta. Anggaran tersebut difokuskan untuk peningkatan infrastruktur penanggulangan banjir seperti pembebasan lahan, pembangunan waduk, pelebaran kali, dan pengadaan pompa.
Menanggapi hal tersebut, Pansus Banjir DPRD DKI Jakarta merekomendasikan lima prioritas penggunaan anggaran penanganan banjir di waktu yang mendatang. Rekomendasi ini telah disampaikan secara resmi oleh Pansus dalam Rapat Paripurna DPRD pada Rabu (23/12/2020) yang dihadiri oleh pihak eksekutif.
“Salah satu unsur penting lainnya dalam menanggulangi banjir adalah penyediaan anggaran yang cukup, tepat sasaran, dan terukur. Sehingga menjadi penting penggunaan anggaran difokuskan pada pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir yang bersifat jangka panjang dan jangka pendek yang langsung berdampak pada penanganan banjir di Jakarta,” ujar Ketua Pansus DPRD DKI Jakarta Zita Anjani dalam rapat paripurna tersebut.
Pansus, kata Zita menilai terdapat lima prioritas penggunaan anggaran untuk penanggulangan banjir. Pertama, penggunaan anggaran banjir seharusnya ditujukan untuk Pembuatan Rencana Induk Terpadu. Hal tersebut penting adanya agar pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir dan proses penanganan banjir terintegrasi satu sama lain, sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Selain itu Rencana Induk Terpadu juga berfungsi untuk memastikan pembangunan infrastuktur banjir yang bersifat multiyears, tidak berubah-berubah sekalipun gubernurnya berbeda-beda. Rencana Induk Terpadu ini meliputi Grandmaster Plan, Sistem Peringatan Dini dan Evakuasi, dan Sistem Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat,” tutur politisi PAN ini.
Prioritas kedua, penggunaan anggaran untuk peningkatan kapasitas sungai atau kali dengan cara melakukan pembebasan lahan, peningkatan kapasitas, dan pembenahan atau revitalisasi eksisting 13 sungai/kali. Pansus menilai hal tersebut sangat penting untuk dilakukan agar aliran air yang datang dari banjir kiriman ataupun lokal bisa ditampung dan mengalir dengan baik sampai ke hilir.
“Pemprov harus memastikan kapasitas sungai/kali di Jakarta memadai untuk menampung air yang mengalir. Tercatat banjir terparah di tahun ini disebabkan debit air hujan yang turun mencapai 3.389 m3/detik, sedangkan kapasitas sungai Jakarta hanya mampu mengalirkan 2.357 m3/detik. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas sungai/kali harus menjadi prioritas infrastruktur yang utama,” kata Zita.
Prioritas ketiga, lanjut Zita, penggunaan anggaran banjir untuk pembangunan dan revitalisasi polder yang bisa dimulai dari pengadaan lahan untuk membangun sarana polder. Penerapan polder menjadi penting karena merupakan komponen utama yang mengendalikan permukaan air agar permukiman warga tidak terjadi genangan.
“Unsur terpenting dalam sistem polder adalah masyarakat dan pemerintah di mana pemerintah bertanggung jawab terhadap pengintegrasian sistem-sistem polder, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan sungai-sungai utama. Sedangkan masyarakat mengelola, mengoperasikan dan memelihara. Oleh karena itu, pemerintah perlu menggandeng masyarakat untuk membangun sisem polder yang terintegrasi,” ungkap dia.
Prioritas keempat adalah penggunaan anggaran untuk pembangunan dan revitalisasi sungai, danau, embung, waduk atau SDEW yang merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki multi fungsi penting. Selain sebagai tempat penampungan air dan konservasi tanah, kata Zita, SDEW juga sebagai tempat parkir air untuk pengendalian banjir. tempat wisata, dan sarana olahraga.
“Pemprov DKI Jakarta harus betul-betul memperhatikan infrastruktur 109 SDEW yang di miliki Jakarta hari ini. Selain untuk memperhatikan estetikanya, juga harus fokus dengan kapasitas daya tampung airnya. Karena manfaatnya tidak hanya sebagai penampung air ketika intensitas hujan besar, juga sebagai stok cadangan penyimpanan air bersih di Ibu Kota,” imbuh dia.
Prioritas terakhir adalah penggunaan anggaran untuk pembukaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang baru. Pasalnya, hingga saat ini, luas RTH di DKI Jakarta hanya 9,18% dan masih jauh dari pemerintah membangun RTH seluas 30%. Jika pemerintah hanya mampu menargetkan pembukaan ruang terbuka hijau 1% pertahun, maka hingga tahun 2030, luas Ruang Terbuka Hijau Jakarta hanya berkisar di 19,18 persen saja.
“Karena itu, Pemprov harus bisa memberi anggaran prioritas untuk pembukaan RTH juga, agar fungsi tanah bisa kita optimalkan untuk menyerap air, selain itu juga agar Ibu Kota bisa kembali asri,” pungkas Zita.
Sumber: BeritaSatu.com