Jakarta, Beritasatu.com - Dalam kurun waktu seminggu terakhir, setelah PSBB kembali diterapkan, kasus Covid-19 di Jakarta masih terus naik, tanpa ada tanda-tanda penurunan. Ini artinya penularan adalah tinggi di minggu sebelumnya.
"Maka sebaiknya PSBB sekarang diperpanjang, setidaknya seminggu. Memerpanjang juga memperburuk keadaan, data dari negara yang PSBB ketat justru diikuti masalah ekonomi serius dan angka penyebaran yang tinggi. Sebaliknya negara yang mampu menahan penyebaran di angka yang baik, membuka perekonomian dengan terukur dan diawasi ketat," ujar anggota DPRD DKI yang juga epidemolog Dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M(K) kepada SP di Jakarta, Senin (21/9).
Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI itu mengatakan, sejak rencana PSBB kedua, dia telah meminta dievaluasi kegagalan PSBB Transisi, namun Pemprov DKI tidak berani terbuka.
Karena itu harus Gilbert menyampaikan bahwa penyebab kegagalan PSBB transisi adalah karena pengawasan yang lemah. Kedua karena komunikasi dengan hampir semua lini yang buruk dan ketiga adalah contact tracing tidak optimal.
Sewaktu PSBB awal, kata Gilbert, penularan masih dapat dikendalikan. Setelah PSBB Transisi, mulailah pandemi tidak terkendali, tetapi selalu dikatakan terkendali.
"Bagaimana pun PSBB bukanlah target, tetapi suatu kegiatan ad hoc untuk masalah wabah. PSBB harus diakhiri atau dilonggarkan, tetapi penggantinya harus dipersiapkan matang-matang," katanya.
Pada saat pelonggaran agar ekonomi bisa berjalan, menurut Gilbert, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Pertama pengawasan harus diperkuat, dan pelibatan TNI-Polri juga dipertahankan, selain RT dan RW.
Agar ada data untuk intervensi, maka dicari tingkat kepatuhan orang mengikuti protocol dengan survey , metode langsung seperti ditanya langsung atau tertutup. Selanjutnya tidak langsung dengan diamati dan dicatat berapa yang patuh.
"Ini bisa dilakukan di tempat yang diperkirakan pelanggaran tinggi seperti pasar, angkutan umum, kantor, dan pemukiman padat. Data ini digunakan untuk membuat kebijakan dan evaluasi, apakah tingkat kepatuhan sudah tercapai atau belum," tuturnya.
Berdasarkan data Tim Satgas Covid-19, kepatuhan di DKI adalah 70%, sangat jauh dari yang optimal. Sekelompok masyarakat yang tidak peduli harus dididik/dihukum, dan disitulah perlunya Pemprov DKI berlaku tegas. Tanpa mendidik kelompok ini, maka yang terjadi adalah herd immunity atau pembiaran.
Selain itu, Gilbert menyarankan agar komunikasi harus diperbaiki dengan semua pihak, terlebih dengan Pusat dan legislative. Menurutnya, lebih baik focus mengatasi wabah daripada kompetisi dengan Pusat.
Ia mengatakan, bekerja sendiri mengatasi wabah ini tidak akan berhasil, dan terbukti dari kemampuan Pemprov DKI yang terbatas sehingga beberapa kali minta bantuan Pusat. Komunikasi dengan masyarakat juga tidak baik sehingga berbuah denda.
Denda bagi pelanggar protokol kesehatan juga dinilai tidak efektif dan tidak mendidik dalam wabah, karena masyarakat harus diawasi baru patuh. Harusnya kesadaran yang perlu dibangun.
"Contact tracing harus optimal," katanya.
Gilbert menjelaskan, data yang diperoleh terakhir adalah bulan Mei, 1 kasus ditelusuri 3, seharusnya 1:30. Memang ini sulit dibayangkan bisa dilakukan Pemprov DKI, tetapi seharusnya 1:10 masih sangat mudah misalnya 1 kasus ditelusuri di keluarga, tetangga, teman sekerja, dan sahabat dekat. Kelemahannya adalah penularan di pasar, mal, angkutan dan lingkungan.
Tetapi menelusuri orang-orang terdekat tadi (tracing 1:10) secara akal sehat sudah jauh lebih baik. Selama ini, kata Gilbert, Gubernur DKI terkesan selalu terlalu percaya diri mengatakan bahwa tes sudah dilakukan 5x standar WHO.
"Ini harus dikoreksi, bahwa yang perlu dites adalah mereka yang bergejala dan yang terpapar atau kontak. Melakukan tes secara sporadis adalah sia-sia, dan gampang menemukan orang yang mau dites agar melebihi standar WHO. Indikasi tes secara medis juga sangat jelas, seperti saya sebutkan di atas. Setelah tes lalu contact tracing pada yang positif, ini yang tidak pernah dilaporkan gubernur, dan angkanya di bulan Mei sangat jelek, 1:3," jelasnya.
Pada bulan Juni-September, kata Gilbert, tidak pernah dibuka angka contact tracing.
"Selama ini kita misleading oleh paparan yang selalu menyampaikan Rt, positivity rate, dan fatality rate. Sebaiknya hal tersebut diserahkan ke Satgas Covid DKI dan Gubernur focus ke policy," tuturnya.
Memperbaiki ketiga faktor penyebab kegagalan PSBB di Jakarta, diharapkan dapat memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Kondisi kesehatan, kondisi ekonomi dan kondisi lainnya.
"Sekalipun nanti vaksin sudah ada, kita belum memiliki data tingkat perlindungannya atau coverage, berapa persen. Prosedur sekarang masih yang terbaik asal sungguh-sungguh dijalankan," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com