Jakarta, Beritasatu.com - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengklaim bahwa pemeriksaan swab test atau tes PCR (polymerase chain reaction) di 11 provinsi di Tanah Air telah mencapai 90% dari standar WHO. Menanggapi hal ini, epidemiolog Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani mengatakan, angka capaian itu mungkin benar jika itu dihitung pada awal kemunculan Covid-19 di Indonesia, yakni pada Maret.
Namun perlu diingat, kasus ini sudah berjalan sembilan bulan. Saat ini yang dibutuhkan adalah jangkauan testing diperluas hingga ke seluruh Tanah Air untuk menurunkan positivity rate.
“1% dari 270 juta penduduk itu kan sekitar 2,7 juta. Kalau di awal betul sudah memenuhi. Kapasitas pemeriksaan sekarang kan sudah lebih dari 3 juta yang sudah diperiksa spesimen orangnya. Kalau dulu itu kapasitasnya hanya 1 juta. Namun ini sudah terlambat karena pandemi sudah 9 bulan berjalan,” katanya ketika dihubungi Suara Pembaruan, Selasa (2/12/2020).
Menurutnya ketika ada satu orang dites, bukan berarti dia tidak akan dilakukan tes lagi pada tahap selanjutnya. Artinya, klaim capaian 90% dari standar WHO adalah konsep lama yang hadir pada awal kemunculan Covid-19. Kini, banyak orang yang berkali-kali melakukan tes PCR.
Ia memperkirakan mungkin Satgas tidak melihat dari populasi karena di awal target dari pemerintah sudah bisa melakukan pemeriksaan 10.000 per hari. Kemudian target bertambah menjadi 20.000 per hari dan sekarang sekitar 50.000 per hari.
“Seharusnya target sesuai rekomendasi WHO itu 1 hari sekitar 150.000 kalau melihat jumlah populasi yang ada di Indonesia. Jadi kalau klaim secara nasional, 1% itu tak berlaku untuk sekarang,” katanya.
Ia menjelaskan sekarang yang harusnya lebih diperhatikan adalah positivity rate, yakni jumlah yang positif Covid-19 dari spesimen yang diperiksa. Jadi ia meminta pemerintah tidak fokus kepada kapasitas jumlah pemeriksaan yang dilihat dari populasi, tetapi lebih fokus pada orang yang positif dan menularkan ke pihak lain.
“Apakah kemudian jumlah pemeriksaan yang ada sekarang ini sudah maksimal? Hal itu bisa dilihat dari angka positivity rate. Kalau angka positivity rate menurut rekomendasi dari WHO itu kan kurang dari 5%. Namun pada kenyataannya kasus yang ada di Indonesia ini selalu lebih dari 10% bahkan saat ini mencapai 13%-14%,” kata Laura.
Hal ini mengartikan mungkin jangkauan dari pemeriksaan kurang meluas. Jadi target keluarga dari yang positif kemungkinan positifnya lebih besar. Selain itu, jumlah yang dilacak mungkin terlalu kecil, sehingga yang terjaring hanyalah orang-orang dekat dari sekeliling yang terkonfirmasi positif, sehingga mendapatkan positivity rate cukup besar, yakni lebih dari 10%.
Jadi, lanjut Laura, yang harus dilakukan pemerintah adalah menambah kapasitas dan pemeriksaan sehingga bisa menurunkan angka positivity rate karena hal ini menggambarkan kasus yang ada di lapangan.
“Jadi sebetulnya positivity rate yang tinggi berarti penyebaran masih banyak di komunitas. Artinya, kalau yang diperiksa 100 orang, rekomendasi WHO kurang dari 5 orang yang positif. Namun sekarang masih sekitar 14 orang. Kita harus bisa menurunkan angka 5% ini dengan menjaring atau menjangkau komunitas yang lebih meluas untuk dilakukan pemeriksaan,” ungkap dia.
Kalau semakin banyak orang yang diperiksa, harapannya positivity rate bisa berkurang. Namun, tujuan utamanya adalah, kalau makin banyak yang diperiksa, maka kasus-kasus yang kemungkinan positif di lapangan itu bisa terjaring.
Sumber: Suara Pembaruan