Jakarta, Beritasatu.com - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta pemerintah mendorong pengusaha pemanfaatan perjanjian dagang. Sebab, hingga kini, banyak perjanjian dagang yang belum dimanfaatkan sepenuhnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mencontohkan, fasilitas tarif preferensi umum (generalized systen of preferences/GSP) dari Amerika Serikat yang utilisasinya baru 20%. "Masih banyak perjanjian dagang yang kita belum bisa manfaatkan maskimal. Ini perlu mekanisme untuk memanfaatkan secara maksimal," kata Shinta dalam webinar Solusi Maju Bersama di Jakarta, Rabu (27/1).
Di samping memanfaatkan perjanjian dagang, dia juga meminta kepada markert intelligence untuk mencari tahu kebutuhan negara-negara tujuan ekspor, terutama negara tujuan non tradisional. Contohnya, apabila suatu negara banyak mengimpor produk furnitur, market intelligence Indonesia perlu mengetahui apakah produk dalam negeri bisa turut masuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jika tidak, perlu dicari tahu lebih lanjut kesulitan apa yang dihadapi produk-produk Indonesia untuk memasuki pasar-pasar non tradisional.
"Intinya, masalah industri dalam negeri perlu dicarikan solusinya, sehingga mampu berdaya saing dengan produk dari negara lain," imbuh Shinta.
Menirut Shinta, di tengah pandemi Covid-19, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pasar domestik. Pasar ekspor perlu dimanfaatkan, termasuk bagaimana menambah nilai komoditas mentah yang selama ini menjadi produk ekspor unggulan.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, hanya 3% dari bahan baku dan bahan penolong impor yang kemudian diekspor. Menurut dia, sisa dari bahan baku dan bahan penolong impor itu diolah untuk konsumsi dalam negeri. Dia mengatakan, surplus neraca dagang sepanjang 2020 tidak sehat, karena disumbang oleh penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan penurunan ekspor.
"Surplusnya ini buat saya mengganggu. Kalau surplus 2012 dipicu overheating ekonomi. Nah, sekarang ini ekonomi kita sedang lemah gemulai," kata Lutfi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang sepanjang Januari-Desember 2020 mencapai US$ 21,74 miliar. Pada saat yang sama impor turun 17,3% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya US$ 171,27 miliar menjadi US$ 141,56 miliar. Sementara itu, ekspor juga turun meski lebih tipis, yakni sebesar 2,6% dari US$ 167,68 miliar menjadi US$ 163,30 miliar.
Untuk kembali menggairahkan perekonomian nasional, Lutfi menuturkan, sebelum mendorong ekspor, pemerintah perlu terlebih dahulu membenahi konsumsi dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat berbagai insentif. Dia berharap Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat insentif untuk mendorong masyarakat kembali membeli barang konsumsi, seperti produk otomotif, mobil dan motor. "Saya ingin bicara sama Ibu Sri Mulyani untuk memberi insentif yang merangsang masyarakat mengonsumsi barang. Nah, begitu ada konsumsi, kredit jalan lagi, beli mobil beli sepeda motor,
dan saya menjamin inflow bahan baku dan bahan penolong baik tata laksana dan tata kelolanya di Kementerian Perdagangan,” kata dia.
Sumber: BeritaSatu.com