Jakarta, Beritasatu.com – Untuk mendorong pertumbuhan kredit 2021, pengamat perbankan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengusulkan agar dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di 2021 tidak dikurangi, khususnya terkait program perlindungan sosial berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Seperti Diketahui, alokasi dana untuk Penanganan Covid-19 dan PEN di 2020 sebesar Rp 695,2 triliun, dan di 2021 turun menjadi Rp 356,4 triliun. Khusus untuk program perlindungan sosial, anggarannya juga turun dari Rp 234,33 triliun di 2020 menjadi Rp 110,2 triliun di 2021.
“Bank itu follow the trade, follow the business. Kalau tidak ada bisnis dan perdagangan, bagaimana bank bisa menyalurkan kredit? Sehingga menurut saya dana PEN ini yang BLT tetap Rp 200 triliun di 2021, jangan diturunkan jadi Rp 100 triliun. Ini salah satunya untuk mendorong daya beli, yang nanti ujung-ujungnya akan meningkatkan kredit perbankan,” kata Aviliani dalam acara Economic Outlook 2021 sesi “Geliat Industri Perbankan 2021” yang terselenggara atas kerja sama Berita Satu Media Holdings dengan PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Rabu (25/11/2020).
Terkait UMKM, Aviliani melihat meskipun saat ini kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sudah mencapai 60%, tetapi UMKM lebih banyak bermain di sektor perdagangan dibandingkan menjadi bagian dari supply chain.
“Kalau kita mau mengangkat UMKM dan juga perusahaan secara bersama-sama, mungkin supply chain ini harus dikembangkan di tahun depan. Dua-duanya juga dikasih insentif, baik itu UMKM yang bermitra dengan perusahaan maupun perusahaan yang mau bermitra dengan UKM. Ini penting supaya kita bisa terus menciptakan nilai tambah, sehingga sektor riill bisa berkembang lebih cepat,” kata Aviliani.
Ia melihat ada potensi baru dalam menumbuhkan kredit perbankan, yaitu di sektor pariwisata. Apalagi sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan. Adapun yang pertama didatangi masyarakat adalah tempat pariwisata. “Pemerintah memang sudah menganggarkan dana untuk pariwisata, tetapi itu hanya untuk 10 destinasi saja. Menurut saya, kalau perlu dilombakan saja. Siapa yang bisa meningkatkan destinasinya, itu yang diberi hibah,” ujarnya.
Aviliani menyoroti berbagai program untuk mendorong financial inclusion. Sayangnya belum mampu mendongkrak persentasenya yang saat ini baru 48%. Padahal di negara lain sudah mencapai antara 80% hingga 90%.
Disampaikan Aviliani, dalam melakukan credit scoring, perbankan dan juga perusahaan fintech selama ini menggunakan data transaksi yang sudah terjadi. Padahal banyak masyarakat yang hingga saat ini belum mendapatkan akses ke layanan perbankan. “Di sini tujuannya adalah bagaimana sekarang ini credit scoring supaya ada governance-nya dan kemudian data terkait UU Perlindungan Data Pribadi harus dipercepat. Jadi Dukcapil dan data yang berkaitan dengan pelayanan publik harusnya boleh diberikan kepada lembaga kredit scoring, sehingga akan ditemukan data sebenarnya dari penduduk Indonesia,” paparnya.
Aviliani memproyeksikan pertumbuhan kredit di 2021 berkisar antara 3% hingga 3,5%. Beberapa sektor yang dinilai bisa mendorong pertumbuhan kredit antara lain sektor pertanian dan perkebunan, serta makanan dan minuman. “Kalau OJK prediksinya sekitar 5%, kalau saya melihatnya dalam kondisi vaksin itu belum 50% diberikan kepada masyarakat, mungkin kredit bisa tumbuh sekitar 3% sampai 3,5% di tahun depan,” kata Aviliani.
Sumber: BeritaSatu.com