Jakarta, Beritasatu.com - Setelah Peter Towa dipanggil Pemilik Kehidupan, Jumat (23/10/2020), Nona Caroline, 19 tahun, putri semata wayang, menjadi yatim piatu. Ibunya, Maria Goreti Flora Nago, telah meninggalkan Caroline sembilan tahun silam, saat Caroline masih berusia 10 tahun, duduk di kelas V SD.
Setiap orang wajib merencanakan masa depan yang penuh ketidakpastian. Mempersiapkan mitigasi risiko untuk menghadapi ketidakpastian hidup merupakan sebuah Kehidupan. Namun, kadang, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Semua persiapan yang baik, kadang tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Yang menyakitkan, kegagalan itu bukan karena kesalahannya, melainkan karena perbuatan pihak lain.
Ketika membeli polis asuransi pendidikan untuk Caroline 14 tahun lalu, Almarhum Peter Towa tak pernah membayangkan bahwa Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 bakal terkapar seperti saat ini. Saat membeli polis semuanya bagus-bagus saja. Cerita indah tentang masa depan disampaikan dengan meyakinkan oleh agen asuransi.
Saat ini, asuransi jiwa nasional tertua itu kini ibarat kapal karam. Seperti diberitakan, nasib 3 juta lebih nasabah Bumiputera kini tak jelas dan lebih parah lagi, solusi yang diambil oleh pihak otoritas pun tidak juga jelas.
Total kewajiban AJB Bumiputera menurut laporan keuangan tahun 2019 mencapai Rp 30,4 triliun, terdiri atas cadangan premi Rp 24,4 triliun dan utang klaim Rp 5,2 triliun. Kewajiban yang besar ini tidak diimbangi oleh pengelolaan aset yang pruden. Nilai aset anjlok ke level Rp 10 triliun dan modal minus Rp 20,4 triliun.
Peter membeli polis asuransi pendidikan agar ketika putri semata wayangnya masuk perguruan tinggi, ada dana untuk membiayai kuliah. Dalam polis tertulis nama lengkapnya, Petrus Kanisius Towa, sebagai pemegang polis, sedangkan yang ditunjuk sebagai ahli waris adalah Maria Caroline, putrinya, dan Maria Goreti Flora Nago, mendiang istrinya.
Namun, apa lacur, ketika jatuh tempo 1 Februari 2020, uang pertanggungan di lembar polis yang ditandatangani Dirut AJB Bumiputera, Madji Ali itu tak bisa dicairkan. "Perusahaan tak punya uang," kata pegawai AJB Bumiputera.
Dengan entengnya, pihak AJB Bumiputera mengatakan tidak punya uang kepada nasabah yang sudah setia membayar premi selama 14 tahun. Masa penantian yang cukup lama terasa sia-sia. Pemegang polis dengan pendapatan kecil--seperti Peter Towa--langsung terpukul.
Sebagai ayah yang bertangggung jawab, ia menunjukkan kasih sayang dengan berusaha mempersiapkan masa depan anaknya. Asuransi pendidikan adalah salah satu solusi mengalihkan risiko. Ia tertarik pada program asuransi Mitra Beasiswa Berencana yang dijual oleh agen Bumiputera.
Namin, apa boleh buat, setelah membayar rutin premi selama 14 tahun, uang pertanggungan tak bisa diproses. Bocor di payung Bumiputera sudah terlalu besar dan sulit ditambal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepertinya tak berdaya dalam mencari solusi bagi asuransi ini.
Peter meninggalkan bumi fana setelah mendapat jawaban menyedihkan dari AJB Bumiputera bahwa asuransi yang dipersiapkan untuk buah hatinya tak bisa diproses. Lebih dari 3 juta nasabah AJB Bumiputera, di antaranya 2,2 juta pemegang polis individu. Mayoritas mereka adalah nasabah kecil dengan nilai pertanggungan di bawah Rp 20 juta.
Menurut pengamat asuransi nasional Irvan Rahardjo, mayoritas pemegang polis AJB Bumiputera adalah para guru, dosen, PNS, petani, dan nelayan. "Itu tergambar pada figur badan perwakilan anggota," katanya kepada Beritasatu.com, Senin (26/10/2020).
Salah satu solusi fundamental untuk menyelamatkan AJB Bumiputera, kata Irvan, adalah melepaskan asuransi berbentuk mutual ini badan hukum berbentuk "usaha bersama". Dengan dasar PP Nomor 87 Tahun 2019 tentang Usaha Bersama dan Anggaran Dasar AJB Bumiputera, asuransi ini bisa beralih ke badan hukum lain.
Tidak mudah mengimplementasi perubahan sesuai PP 87/2019. PP ini mensyaratkan pelepasan badan hukum mutual harus disetujui oleh rapat umum anggota (RUA). Dengan jumlah nasabah yang mencapai 3 juta lebih, tidak mudah mendapatkan kuorum.
Caroline tak pernah membayangkan dirinya menjadi yatim piatu pada usia 19 tahun. Namun, itulah penyelenggaraan Ilahi. Ibunya pergi saat ia masih bocah dan ayahnya wafat ketika ia masih kuliah di semester III Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Kegagalan ayahnya mendapatkan klaim asuransi menambah kepedihan.
Flora, ibunya, sakit serius selama dua setengah tahun dan harus berada di rumah sakit. Selama itu pula, Caroline hanya hidup bersama ayahnya. Sepeninggal ibunya, Caroline bisa menyelesaikan sekolahnya dengan baik. Masa dua setengah tahun tanpa ibu membuat Caroline terbiasa mandiri.
Dalam satu setengah tahun terakhir, Caroline sempat tujuh bulan indekos di Bandung. Sejak Maret 2020, kampus hanya boleh menyelenggarakan pendidikan jarak jauh (PJJ). Caroline pun kembali ke rumahnya di Karawang. Dari sana, ia mengikuti PJJ. Ayahnya meninggal saat kampusnya menyelenggarakan ujian tengah semester.
Pengalaman hidup sendiri, paling tidak, membuat Caroline terbiasa hidup mandiri. Kepergian ayahnya, mudah-mudahan, membuat ia semakin mandiri.
Caroline, Ananda tidak sebatang kara. Mama dan Papa sudah pergi, tetapi, Allah, Penyelenggara Kehidupan, selalu bersamamu. Kita semua akan ditinggalkan oleh semua orang, termasuk orang yang sangat kita cintai. Bahkan, diri kita pun akan sampai waktunya meninggalkan bumi ini.
Sumber: BeritaSatu.com