Jakarta, Beritasatu.com - Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI) mengharapkan rencana mengoptimalkan peran Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan cara restrukturisasi tidak akan mematikan LSPro sebagai salah satu stakeholder penilai kesesuaian dalam penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Perampingan jumlah LSPro adalah sebuah kemunduran dan bertentangan dengan semangat deregulasi, kemudahan berbisnis di Indonesia yang dikedepankan Presiden Joko Widodo. Sebab, konskuensi dari perampingan adalah keterbatasan jumlah LSPro yang bisa menjadi pangkal dari lambannya pelayanan industri yang akan berakibat pada penurunan tingkat kepercayaan pelaku usaha,” kata Ketua Umum ALSI, I Nyoman Susila, dalam webinar dengan tema “Pro Kontra Wacana Monopoli LSPro: Dampaknya Terhadap Perekonomian Nasional” yang diselenggarakan ALSI, Selasa (20/10/2020).
Nyoman Susila mengungkapkan, keberadaan LSPro saat ini adalah wujud dari kedewasaan industri jasa penilai kesesuaian yang secara nasional mempekerjakan lebih dari 3.000 auditor, tenaga ahli, profesional, serta staf teknis.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan, perlu adanya jalan tengah atau titik temu agar di satu sisi kebijakan pemerintah tidak merugikan pelaku LSPro dan pelaku usaha, dan di sisi lain ada perspektif perlunya pembenahan di LSPro. Harus diakui juga, bahwa saat ini masih ada permasalahan kualitas kompetensi dan kualifikasi LSPro yang ada.
“Jadi, jangan langsung apriori terhadap renjana kebijakan ini. Kita sikapi rencana kebijakan restrukturisasi LSPro ini dalam rangka menigkatan kualitas LSPro, khususnya dalam standarisasi produk dalam negeri dan secara umum bisa meningkatkan perekonomian Indonesia,” kata Nusron.
Nusron mengungkapkan, sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur semua barang yang diperdagangkan dalam rangka perlindungan konsumen wajib mencantumkan standarisasi. Dalam merealisasikan amanat UU itu, kebijakan pemerintah terkait standarisasi ini melibatkan empat stakeholder. Pertama, pemerintah yang dalam hal ini ada Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Standarisasi Nasional (BSN). Ketiganya harus punya suara dan pendapat sama soal standarisasi.
Kedua adalah pelaku lembaga sertifikasi produksi (LSPro). Karenanya, setiap kebijakan standarisasi juga harus mendengarkan aspirasidari LSPro yang sudah lama bergerak di bidang sertifikasi. Ketiga adalah melibatkan pelaku industri selaku yang memproduksi dan menjual. “Maka dengan rencana kebijakan itu, kami di DPR ingin melihat mana kebijakan yang terbaik untuk kepentingan nasional. Pengertian baik ini berlaku baik untuk pemerintah, baik untuk LSPro, baik untuk pelaku usaha, baik juga untuk kepentingan konsumen. Artinya, kita ingin tidak ada yang dirugikan akibat kebijakan yang diambil pemerintah,” ungkapnya.
Sumber: BeritaSatu.com