Jakarta, Beritasatu.com – Di tengah pandemi Covid-19, jumlah perusahaan yang tercatat di bursa terus meningkat. Hingga Juni 2020, jumlahnya mencapai 696 emiten. Bahkan selama semester I-2020 di tengah adanya pandemi Covid-19, ada 28 emiten baru yang tercatat di bursa. Sementara itu dari sisi Indeks Harga Saham gabungan (IHSG), Indonesia sudah melampaui 5.100, lebih tinggi dari Singapura, Thailand, maupun Malaysia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia Samsul Hidayat mengungkapkan, masih tingginya jumlah emiten baru di tengah pandemi Covid-19 ini memberikan optimisme bahwa krisis yang ditakutkan tidak akan terjadi di Indonesia.
“Sampai hari ini di tahun 2020 ada 28 emiten baru, dan total emiten yang sudah ada di bursa itu 696 emiten. Informasinya masih ada beberapa, sekitar 18 emiten yang di pipeline,” kata Samsul Hidayat dalam acara Investor Awards Best Listed Companies 2020, Selasa (21/7/2020).
Di luar emiten baru tersebut, Samsul mengatakan banyak juga perusahaan yang mengundurkan diri untuk melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2020 ini akibat pandemi Covid-19. Beberapa kemungkinan alasannya karena belum ada kesepakatan dengan investor strategisnya, dan juga investor lain melihat cukup sulit untuk menjual saham mereka di tengah pandemi.
“Tetapi ini tetap menumbuhkan optimisme dari kita bahwa kalau ada yang mengatakan tanda-tanda sebuah resesi apabila kelompok menengah ke atas tidak mau lagi berinvestasi. Tapi saat ini sebagian besar masih mau berinvestasi, dan mudah-mudahan ini pertanda krisis yang ditakutkan tidak terjadi di Indonesia,” ungkapnya.
Ditambahkan Samsul, rencana perusahan untuk melakukan IPO pada 2020 memang bukan sesuatu yang direncakan dalam waktu satu-dua hari, melainkan sudah direncanakan dua hingga tiga tahun sebelumnya. Adanya pandemi yang muncul di 2020 juga tidak ada yang bisa memprediksi.
“Memang kemudian sebagian calon emiten di bulan Januari dan Februari sudah memasukkan. Mereka ini kan sebelum menjual umumnya sudah mencari pembeli, artinya strategic buyer-nya ada. Sehingga untuk calon emiten yang tidak terlalu terdampak Covid-19 secara bisnis, mereka akan tetap jalan,” kata Samsul.
Selama kuartal I-2020, Samsunl memaparkan beberapa sektor mengalami tekanan yang cukup berat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, antara lain sektor pertanian, trade and service, properti, real estate, dan juga building construction.
“Bebera sektor juga masih menurun, misalnya mining, aneka indutri serta infrastruktur. Walaupun ada beberapa sektor yang masih positif seperti consumer goods. Saat ini kita juga banyak sekali menggunakan bahan kimia untuk cuci tangan, sektor ini juga mengalami peningkatan. Yang perlu dipikirkan bagaimana di kuartal II, apalagi kondisinya itu full pandemi, sehingga mungkin kita akan mengalami penurunan yang lebih besar,” kata Samsul.
Samsul juga mengapresiasi upaya yang tengah dilakukan pemerintah dalam memulihkan ekonomi nasional, di mana untuk biaya penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 695,2 triliun. Dari jumlah tersebut, rinciannya adalah Rp 87,55 triliun untuk bidang kesehatan, Rp 203,9 triliun untuk program perlindungan sosial, Rp 123,46 untuk dukungan kepada UMKM, Rp 120,61 triliun untuk insentif bagi dunia usaha, Rp 53,57 triliun untuk pembiayaan korporasi dan BUMN, dan Rp 106,11 triliun untuk memberikan dukungan bagi sektoral maupun kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.
“Kami kira kita semua dari emiten perlu bersyukur juga bahwa pemerintah sudah melakukan daya upaya untuk membuat ini tidak menjadi lebih buruk,” kata Samsul.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Suheri berharap otoritas terkait dapat menjaga kepercayaan investor dengan menjaga pasar modal Indonesia agar lebih sehat lagi, supaya investasi di pasar modal Indonesia tetap dipandang sebangai investasi yang menarik.
“Situasi ini saya kira memang luar biasa. Apa yang dilakukan otoritas, termasuk bursa efek, sebetulnya mereka juga punya target supaya pasar modal kita semakin besar. Kalau instrument atau yang diperjual belikan sedikit, kan untuk investor juga agak sulit. Tetapi yang ingin saya tekankan kepada otoritas adalah bagaimana pasar modal kita bisa lebih sehat lagi, sehingga investor betul-betul bisa menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pasar modal. Kalau kejadian-kejadian seperti tahun lalu baik itu manajer investasi, kemudian ada instrumen seperti reksadana yang bermasalah dan seterusnya, itu bisa betul-betul diawasi, sehingga tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Tentunya ini menjadi salah satu confidence juga bagi para investor untuk melakukan investasi di pasar modal,” kata Suheri.
Sumber: BeritaSatu.com